Aceh “Negeri Zakat”

Oleh Mohd. Heikal

“The greatest good you can do for another is not just share your riches, but to reveal to him his own.” (Benjamin D)

ZAKAT menjadi hal penting ketika bulan ramadhan hadir. Sebagai ibadah yang berdimensi maaliyah ijtimaiyyah, zakat adalah sistem fiskal pertama di dunia dengan kelengkapan aturan yang luar biasa dimilikinya. Lebih dari itu bahwa zakat juga memiliki prosedur operasional yang komprehensif sebagai sebuah ibadah. Mulai dari jenis harta yang dizakatkan (maal al-zakah), tarif zakat (miqdaar al-zakah), batas minimal harta yang terkena zakat (nishab), batas pelaksanaannya (haul), sampai pada sasaran dari pembelanjaan zakat (mashaarif al-zakah).

Tidak hanya kaitannya dengan ekonomi, ternyata zakat juga memberikan dampak positif pada kesehatan jiwa dari orang yang menunaikannya. Dalam tulisannya yang berjudul Al-zakat Tahmi al-Amradh al-Nafsiyah wa al-Sikusumaiyah, yang diterbitkan oleh koran al-Ra’y al-Thibbiyah, edisi 10681, Ahad, 28 September 2008, Dr Ahmad Samih menulis, “Para psikolog menemukan bahwa perasaan senang dan ridha setelah mengeluarkan zakat atau sedekah akan menguatkan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh lebihi kebal dari serangan berbagai penyakit. Di sisi lain, menunaikan zakat dan memberikannya kepada para mustahik akan menghilangkan amarah, dendam, kebencian, dan kedengkian dari hati kaum fakir dan miskin.”

Dalam tulisan ini tentunya saya tidak akan lebih jauh membahas hal yang berkaitan antara zakat dan kesehatan jiwa, tapi akan secara spesifik memprovokasi kita untuk menjadikan Aceh yang telah mendeklarasikan diri sebagai negeri Syariat Islam sebagai propinsi yang patut menjadi model dalam pelaksanaan zakat.

Ada beberapa fakta yang memang masih menjadi persoalan penting ketika kita ingin mewacanakan Aceh sebagai provinsi zakat, yaitu terkait dengan potensi vs realisasi, qanun dan perangkat hukum lainnya serta manajemen zakat itu sendiri. Pertama, potensi vs realisasi zakat di Aceh. Menurut Kepala Baitul Mal Aceh, Armiadi Musa mengatakan potensi zakat Aceh mencapai Rp 1,4 triliun (Antara, 15/1/2015). Armiadi melanjutkan bahwa dari potensi tersebut yang baru tergarap sekitar Rp 300-an miliar atau 25% dari total potensi yang ada. Artinya masih ada 75% dari potensi tersebut yang belum dioptimalisasi. Disparitas ini adalah sebuah fakta menarik yang tentu membuat kita miris karena ternyata masih banyak dari masyarakat Aceh yang belum memiliki kesadaran atau terketuk hatinya untuk menunaikan zakat sebagai kewajiban dan bukan hanya sebagai ibadah mahdah tersebut.

Kedua, hal yang terkait dengan perangkat hukum berupa Qanun. Kehadiran Qanun Zakat di Aceh adalah sangat mendesak sekaligus menjadi jawaban yang sangat realistis untuk persoalan pertama di atas. Keberadaan Qanun tentang Baitul Mal Aceh No.10 Tahun 2007 belum menjadi regulasi yang tepat dalam mewujudkan Aceh sebagai provinsi zakat.

Saat ini dibutuhkan Qanun yang mengatur tentang zakat secara komprehensif baik yang berkaitan dengan kewajiban, prosedur dan juga pengelolaannya dan Baitul Mal adalah menjadi bagian yang terdapat dalam qanun tersebut, karena pengelolaan zakat sesungguhnya bukan tujuan namun hanya sebagai instrumen. Tujuan utamanya adalah tertunaikannya zakat oleh para muzakki dan tersampaikannya zakat kepada mustahik, dengan kemanfaatan yang paling optimal, demikian menurut Yusuf Wibisono dalam bukunya Mengelola Zakat Indonesia.

Masih butuh kajian

Berkaitan dengan hal tersebut di mana dalam pasal 180 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa “Zakat merupakan salah satu sumber penerimaan daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota”. Ini tentunya masih membutuhkan kajian yang mendalam karena pasal di atas sangat berpotensi melanggar syariat, sebab Alquran telah menetapkan secara pasti alokasi dana zakat sebagaimana firman Allah Swt: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. at-Taubah: 60).

Menurut Dr Muammar Khaddafi SE MSi.Ak dalam tulisanya berjudul Zakat, Pajak, dan PAD (Serambi, 7/4/2016) mengatakan, “Masalah zakat sebagai PAD memiliki dualisme pemahaman: Pertama, zakat yang dimaksud apakah keseluruhan jenis zakat, mengingat ada dua jenis zakat yaitu Zakat Fitrah yang penyalurannya harus segera dilakukan dan jelas siapa saja mustahik zakatnya, dan Zakat Mal yang dananya dapat diperuntukkan sebagai zakat produktif. Dan, kedua, mekanisme penyaluran zakat sebagai PAD dan penghitungannya apakah merujuk pada hitungan anggaran daerah atau anggaran tersendiri yang dikelola Baitul Mal”.

Qanun Zakat itu harus mencerminkan kepentingan seluruh stakeholders zakat (utamanya muzakki), jadi bukan hanya kepentingan para shareholders (muzakki, pemerintah dan amil) semata. Berdasarkan hal tersebut, maka idealnya pemerintah Aceh dan DPRA menoreh prestasi pada Ramadhan 1437 Hijriyah lalu, yaitu dengan melahirkan Qanun Zakat yang lebih memiliki dampak positif bagi keberlangsungan Aceh sebagai provinsi syariat.

Persoalan ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah Manajemen Zakat itu sendiri. Sebagaimana pernyataan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, Dr Nazaruddin AW mengatakan, potensi zakat di Aceh cukup besar, hanya manajemen pengumpulan zakat yang belum maksimal (Serambi, 16/10/2015). Allah Swt berfirman: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) kententraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. at-Taubah: 103).

Beranjak dari pernyataan tersebut dan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong agar Aceh menjadi propinsi yang sepatutnya menjadi model dalam pelaksanaan zakat di Nusantara, maka kami mencoba membangun apa yang kemudian disebut sebagai Diamond’s Model Manajemen Zakat sebagaimana gambar di bawah ini:

Dalam Diamond’s Model tersebut, ada empat bagian utama yang menjadi aktor dalam Manajemen Zakat yaitu pemerintah, amil, muzakki, dan mustahik. Keempatnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda, namun memiliki nilai yang sama penting, sehingga zakat akan menjadi energi tak terkalahkan (diamond adalah bahasa Yunani yang artinya tak terkalahkan) dalam membangun perekonomian umat menuju kehidupan yang sejahtera. Kedudukan mustahik pada posisi di bawah dan diapit oleh pemerintah, amil, dan muzakki adalah menunjukkan bahwa intervensi dan fokus utama dari zakat adalah mereka.

Zakat apabila dikelola dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern dengan beberapa fungsi utamanya planning, organizing, leading, dan controlling, maka akan memiliki dampak terhadap perekonomian baik secara mikro maupu makro ekonomi. Kebangkitan kelas menengah (middle class) muslim yang semakin well educated ditambah dengan sutuasi nasional yang semakin demokratis dan religius harus disambut dengan baik dalam menempatkan zakat sebagai kekuatan ekonomi baru dalam pemberdayaan umat, terutama di Aceh.

Kewajiban mengikat

Peran pemerintah (Aceh) sebagai otoritas sebagaimana surat at-Taubah ayat 103 di atas (khudz min amwalihim), diharapkan lebih kepada law enforcement dalam menjadikan zakat (nafs/fitrah dan mal) tidak hanya sebagai kewajiban agama tapi juga sebagai kewajiban mengikat sebagai orang Aceh. Pemerintah juga diharapkan menjadi regulator yang kuat dalam pengelolaan zakat di Aceh karena peran dan keberadaannya harus mampu mengintegrasikan pengelolaan zakat kedalam kebijakan daerah. Sebagai ibadah yang memiliki fungsi sosial maka zakat harus dikelola secara terlembaga sesuai dengan apa yang telah menjadi praktik dalam sejarah sejak Rasulullah saw hingga para khulafaur rasyidin. Pemerintah harus menjadi pengawas yang independen dan juga melakukan pembinaan yang berkesinambungan dalam implementasi manajemen zakat.

Amil (lembaga) zakat menjadi sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan pengumpulan dan pendistribusiannya. Amil di samping harus amanah (kompeten), profesional juga terpercaya. Untuk itu lembaga zakat dalam berbagai bentuknya harus memiliki standardisasi. Amil harus memiliki pusat data (data center) baik muzakki maupun mustahik. Harusnya sesuai dengan kemajuan teknologi informasi sudah sepatutnya amil mengaplikasikan sistem dan aplikasi berbasis IT, sehingga nantinya setiap muzakki akan dapat menelusuri siapa yang menjadi mustahik dari zakat yang mereka tunaikan. Sehingga prinsip tatakelola zakat yang baik (good zakat governance) dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai spiritnya akan terwujud. Hal lain yang sangat penting adalah faktor kepemimpinan, Baitul Mal harus dipimpin oleh orang yang memiliki kapasitas, bukan karena kedekatan dan faktor nepotisme lainnya.

Pada sisi muzakki tentunya adalah bagaimana membangun kesadaran dan minat (awareness dan intention) wajib zakat ini dengan cara-cara yang menggunakan teknik dan pendekatan dari komunikasi pemasan terpadu (integrated marketing communication) atau dengan apa yang sekarang sedang menjadi trend dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yaitu pemasaran sosial (social marketing). Amil dan atau lembaga zakat harus menggunakan cara-cara modern dan dua arah untuk meningkatkan realisasi zakat di Aceh.

Mustahik adalah fokus utama dari zakat, sebagai penerima manfaat para mustahik harus didorong untuk tidak terjebak menjadi mustahik seumur hidup. Desain dan konsep permberdayaan harus dilakukan dengan pendekatan sosial kultural dan keagamaan. Hingga saat ini belum terlihat secara kasat mata dampak dari pendistribusian zakat kepada para mustahik, karena hingga saat ini masih besar pola pendistribusian pada sektor konsumtif. Pemberdayaan mustahik harus direformasi total, di mana perlu dilakukan transformasi dengan menggerakkan para mustahik dengan nilai-nilai baru yang dapat memotivasi mereka, sehingga dapat mendorong para mustahik untuk memperbaiki kehidupan mereka kearah yang lebih baik dan pada gilirannya mereka akan berubah menjadi muzakki.

Pentingnya profil mustahik secara mendalam akan sangat membantu upaya pengentasan kemiskinan yang komprehensif, terutama dalam menghindari overlapping intervensi dari pendistribusian dan pemberdayaan dana zakat. Sudah saatnya pengelolaan zakat di Aceh menjadi model bagi Indonesia, bukan tidak mungkin dana zakat yang terealisasi dengan jumlah yang optimal bila kita mau berjihad untuk hal ini. Sehingga nantinya bukan tidak mungkin akan lahir pabrik atau industri yang bersumber dari dana zakat dan orang yang bekerja pada pabrik dan industri tersebut adalah para mustahik yang tidak lama kemudian akan menjadi muzakki.

Islam, Iman, Itqan dan Ikhlas yang ada dalam kuadran diamond’s model manajemen zakat tersebut adalah sebagai nilai-nilai (values) yang menjadi guidence dan kompetensi inti dari pemerintah, amil, muzakki dan mustahik. Penggunaan berlian (diamond) sebagai model adalah karena kehadirannya adalah karena energi besar dari ledakan gunung berapi dan dalam dirinya juga ada energi berupa atom dan karbon. Diamond’s model manajemen zakat yang sedang kami kembangkan dan masih membutuhkan masukan konstruktif dari semua pihak ini adalah semangat sebagai akademisi untuk memberikan pemikiran menuju Aceh sebagai negeri zakat di khatulistiwa. (SUMBER)

Wallaahu a’lam bishshawab.

* H. Mohd. Heikal, SE, MM., Ketua LP3M dan Dosen Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh (Unimal), Aceh. Email: [email protected] 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*