PERGULATAN POLITIK MENJELANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019

oleh:

Zaki ‘Ulya,S.H.,M.H.

Dosen Bagian Hukum Tata Negara/Fakultas Hukum Universitas Samudra

Wahana politik di Indonesia memasuki sebuah era baru yang dinilai lebih efisien dari pada perhelatan politik sebelumnnya. Sebagaimana diketahui sebelumnya berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam UUD NRI Tahun 1945 dan juga Undang-Undang Khusus pemilu, menyebutkan penyelenggaraan pemilu di Indonesia secara kontinyu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Namun, Pelaksanaan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) yang selama ini dilakukan terpisah (tidak serentak) dinilai tidak efisien. Selain biayanya yang sangat besar, pelaksanaan pemilu tidak serentak telah menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara sebagai pemilih.

Aspek “mahalnya” anggaran penyelenggaraan pemilu sebanyak dua kali tersebutlah yang membuat beberapa pakar hukum, khususnya pakar HTN, menilai adanya unsur tidak efektifnya pelaksanaan pemilu semenjak medium orde lama, orde baru hingga saat ini. Atas dasar itu, Pakar Komunikasi Politik, Effendi Gazali mempersoalkan dan memohon langkah pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi. Effendi Gazali yang pada saat itu, memohon pengujian Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres terkait penyelenggaraan pemilu dua kali yakni Pemilu Legislatif dan Pilpres. Atas dasar permohonan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi menetapkan putusannya yaitu Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, tentang pelaksanaan pemilu serentak yang “bakal” dimulai pada tahun 2019. Sejalan dengan pemikiran itu, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara dan mengurangi gesekan horizontal masyarakat.

Menurut Mahkamah Konstitusi, hingga saat ini praktik ketatanegaraan Pilpres setelah Pileg ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki dan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan presiden tidak berjalan dengan baik. Mahkamah menyatakan semua tahapan dan persiapan teknis pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati pelaksanaan. Demikian pula seluruh ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum baik Pilpres maupun Pileg telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pileg tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.

Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan sebuah wahana baru dalam pergulatan politik di Indonesia yang secara  nisbi “mementahkan” praktek ketatanegaraan Indonesia sebelumnya dalam hal penyelenggaraan pemilu presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif. Disatu sisi, rakyat dapat lebih melihat wahana baru tersebut sebagai “parfum” kemenangan demokrasi. Atas putusan tersebut pula, Mahkamah dinilai berhati-hati dalam memuat putusannya yang disebabkan pada saat tersebut penyelenggaraan pemilu 2014 akan dimulai. Pada 2019, akan dimulai sejarah baru dalam Pemilu, seiring dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif), dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) harus serentak, bukan terpisah sebagaimana dipraktikkan selama ini.

Berbicara mengenai konstitusionalitas Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memperbolehkan pemilu serentak diseluruh wilayah NKRI, secara sah tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Dimana pasca dilakukannya amandemen UUD 1945 telah merubah tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dimana sebelum amandemen UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Setelah amandemen UUD 1945, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 berubah menjadi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

Begitu pula mengenai tata cara pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Jika sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPR, maka setelah amandemen UUD 1945, diatur lebih rinci dalam norma Undang-Undang Dasar, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 6 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945.

Bahkan Yusril Ihza Mahendra pada saat mengajukan permohonan uji materil yang dimuat dalam Putusan MK No. 108/PUU-XI/2013, mendalilkan bahwa UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur mengenai Pemilu mana yang dilaksanakan terlebih dulu, apakah Pemilu Presiden ataukah Pemilu Legislatif. Kendati demikian, ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (2) menunjukkan bahwa Pemilu hanya diadakan satu kali dalam lima tahun. Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang menyebutkan pemilu diadakan dua kali, atau tiga kali dalam lima tahun.

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Kemudian Pasal ayat (2)-nya menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Dengan demikian, tiada alasan konstitusional untuk menyelenggarakan dua kali Pemilu dalam lima tahun. Tafsir yang paling memungkinkan untuk memahami maksud Pasal 22E ayat (1) dan (2) adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD dilaksanakan serentak satu kali dalam lima tahun. Penafsiran ini sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Yusril, mendahulukan Pemilu legislatif kemudian disusul dengan Pemilu eksekutif, adalah bertentangan dengan sistem presidensial yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945.

Pemilu serentak merupakan jawaban atas berbagai persoalan di atas. Dalam pemilu serentak kemenangan calon presiden cenderung diikuti perolehan kursi mayoritas parlemen partai atau gabungan partai pengusungnya. Demikian pula sebaliknya. Pemilu serentak akan menciptakan gabungan kerjasama antarpartai politik dalam pemerintahan yang solid karena proses pembentukannya tersedia cukup waktu. Bandingkan dengan pembentukan gabungan kerjasama antarpartai politik saat ini, yang mana semua partai menunggu hasil pemilu legislatif yang jaraknya hanya satu bulan dari jadwal pencalonan presiden dan wakil presiden.

Menindaklanjuti Putusan MK, DPR bersama Presiden hasil Pileg dan Pilpres 2014 harus segera mempersiapkan perubahan berbagai UU terkait Pileg dan Pilpres, sehingga pelaksanaan Pemilu Nasional secara serentak mempunyai pijakan hukum yang kuat, merujuk pada konstitusi. DPR melalui Badan legislasi diharapkan membentuk tim kerja yang dalam waktu setahun mampu  merumuskan sistem, pola, dan format pemilu serentak yang cocok dan sesuai dengan realitas ke Indonesiaan. Perwakilan fraksi dengan ditambah mayoritas sejumlah akademisi dan kalangan yang dinilai memiliki ketulusan dan objektivitas tinggi dalam membangun sistem ketatanegaraan kita layak dilibatkan.

Sebagai penutup, Pemilu serentak diyakini akan dapat mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan selama ini, seperti mahalnya ongkos penyelenggaraan, politik biaya tinggi atau politik uang, konflik antar kelompok kepentingan, politisasi birokrasi, korupsi, instabilitas dan tidak efektifnya pemerintahan. Atas dasar tersebut tentu sangat diharapkan bagi pemerintah bersama dengan DPR agar bersegara menyusun regulasi undang-undang khusus mengenai pemilu serentak tahun 2019 sesegera mungkin, dengan tujuan agar aspek kepastian hukum terealisasi sebagaimana mestinya.

Sumber: Majalah Konstitusi No. 103, September 2015, halaman 6-7

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*