KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

 

Andi Khadafi

 

Fakultas Hukum, Universitas Meurandeh, Samudra, Langsa, Aceh

Email: [email protected]

 

Abstract, Misuse of firearms is the most common case today. Firearms to the general public is an object/tool used to attack or defend the result if shot firearms may cause serious injury or death and one of the most disturbing crimes are evil people using firearms. Flow crime using violence or the threat of firearms is very disturbing public order and safety, giving rise to concerns in society.

Abstrak, Penyalahgunaan senjata api adalah kasus yang paling sering terjadi saat ini. Senjata api bagi masyarakat awam merupakan sebuah benda/alat yang digunakan untuk menyerang atau membela diri yang akibat jika tertembak senjata api dapat menyebabkan luka berat ataupun kematian dan salah satu kejahatan yang paling meresahkan masyarakat adalah kejahatan dengan menggunakan senjata api. Arus kejahatan dengan menggunakan ancaman kekerasan maupun dengan senjata api memang sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.

Kata kunci: Kebijakan Formulasi, Kepemilikan Senjata Api Ilegal, Pembaharuan Hukum.

Pendahuluan

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.

Beredarnya senjata api tentu akan menimbulkan keresahan dimasyarakat, mengingat senjata api sangat berbahaya. Penggunaan senjata api ada yang legal alias berizin seperti yang dimiliki anggota kepolisian, TNI, Dinas/instansi dan masyarakat umum. Namun ada pula yang illegal alias tidak berizin, melanggar hukum dan sangat berpotensi digunakan untuk aksi kejahatan.  Penggunaan senjata api legal dalam prakteknya ternyata tidak lepas dari berbagai masalah, di samping ada oknum aparat yang menyalahgunakan senjata apinya, masyarakat yang memiliki izin senjata api juga ada yang melanggar aturan, seperti untuk tindak kriminal.

Penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil sebenarnya dapat dikurangi jika ada jaminan keamanan dan ini adalah tugas bersama antara aparat dan masyarakat.  Terkait senjata api illegal yang beredar, bisa berupa senjata api aparat yang disalahgunakan atau senjata api rakitan. Beredarnya senpi illegal ini sangat berbahaya, karena senjata api illegal pada dasarnya memang dibuat, diperjualbelikan dan digunakan untuk aksi kriminal.  Beredarnya senjata api dimasyarakat, baik legal maupun ilegal harus mendapat pengawasan khusus dan ditertibkan sedini mungkin oleh pihak terkait, seperti Polda, sebelum terjadi penyalahgunaan yang akan menimbulkan korban yang lebih banyak lagi.

Kebijakan formulasi pada hukum pidana merupakan kebijakan penegakan hukum pidana, di katakan demikian karena kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari:[1]

  1. Tahap kebijakan legislatif/formulatif;
  2. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif; dan
  3. Tahap kebijakan eksekutif/administratif.

Kebijakan Formulasi adalah merupakan suatu langkah yang diambil oleh negara untuk merumuskan perbuatan apa saja yang dipandang tercela, kemudian menggunakan hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan yang dipandang tercela, agar masyarakat menjauhinya atau tidak melakukan perbuatan tersebut. Adapun penggunaan hukum pidananya dengan mengeluarkan peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya memuat secara tegas sanksi pidananya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief pada kesempatan lainnya, kebijakan legislatif merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam perundang-undangan. Sering juga kebijakan legislatif di sebut dengan istilah “kebijakan formulatif”.[2]

Penggunaan hukum pidana sebagai salah satu ranah untuk menanggulangi kejahatan hendaknya pada tahap formulasinya direncanakan secara baik dan benar, karena tujuan dari hukum pidana itu sendiri pada akhirnya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat di sini adalah kesejahteraan masyarakat secara luas, bukan hanya sekedar untuk mengirim si pelaku ke dalam penjara saja dan menimbulkan masalah baru yaitu penjara yang penuh.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.[3]

Artinya bahwa, dalam hal pengambilan kebijakan pada tahap kebijakan formulasi, sanksi-sanksi hukum pidana yang digunakan untuk menanggulangi kejahatan hendaknya dipilih secara rasional baik dalam menentukan jenis sanksi pidana, lamanya sanksi pidana dan cara pelaksanaan pidananya. Pengambilan kebijakan yang tidak secara rasional, justru akan menimbulkan masalah tersendiri yaitu timbulnya faktor-faktor kriminogen.

Kebijakan legislatif atau kebijakan formulasi di bidang penegakan hukum pidana itu tidak berarti harus dituangkan dalam satu kitab undang-undang. Bisa saja dituangkan dalam berbagai undang-undang seperti sekarang ini (ada hukum pidana materiil di dalam dan di luar KUHP; ada hukum acara pidana di dalam dan di luar KUHAP; dan ada undang-undang pelaksanaan pidana).[4]

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan kajian dalam tulisan ini di anaranya:

  1. Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana dalam kepemilikan senjata api ilegal saat ini?
  2. Bagaimanakah formulasi hukum pidana kepemilikan senjata api ilegal dalam pembaharuan hukum pidana?

 

Pembahasan

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Kepemilikan Senjata Api Ilegal Saat Ini.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi tindak pidana menjadi dua jenis yakni Kejahatan dan Pelanggaran. Delik-delik yang termasuk dalam kejahatan dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran dimuat dalam Buku III. Akan tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria apa yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik tersebut. Perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan merupakan perbedaan antara delik Undang-undang dan delik hukum.

Kejahatan merupakan delik hukum sedangkan pelanggaran merupakan delik Undang-undang, jadi kejahatan perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh Undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum[5]

Menurut Sudarto[6], kriteria untuk membedakan kedua jenis delik tersebut di atas didasarkan atas pendapat sebagai berikut : bahwa antara kedua jenis delik ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Kedua jenis delik yang dimaksud kejahatan atau “Rechtdelicten” yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak. Sedangkan jenis delik yang kedua yaitu pelanggaran atau “wetsdelicten” ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana karena Undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena Undang-undang yang mengancamnya dengan pidana.

Menurut Sudarto, perbedaan secara kualitatif tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam KUHP, jadi sebenarnya tidak dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan dan sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan.[7]

Van Bemmelen menyatakan bahwa perbedaan antara kejahatan dengan pelanggaran bukan perbedaan secara kualitatif, melainkan secara kuantitatif yaitu kejahatan pada umumnya diancam hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran[8] Pada KUHP dibedakan secara tegas antara kejahatan dengan pelanggaran. Kejahatan di muat dalam Buku I KUHP sedangkan pelanggaran dimuat dalam Buku II KUHP. Adapun Pasal-pasal yang berkaitan dengan Buku II KUHP tentang kejahatan secara terinci adalah sebagai berikut :[9]

KUHP Indonesia menganut aliran monistis, yang mana di dalam aliran monistis tidak ada perbedaan antara tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, namun dalam perkembangannya maupun dalam dunia praktek ada perbedaan tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, sebagaimana hal tersebut di pertegas oleh Sudarto tentang pandangan monitis.Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan”.

Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility).[10]

  • Tindak Pidana

Berbicara dalam hal dalam Tindak Pidana, khususnya KUHP adanya pembagian antara kejahatan dan pelanggaran, yang mana kejahatan dan pelanggaran tersebut merupakan kualifikasi yuridis. Menurut Barda Nawawi Arief[11], ada dua kebijakan formulasi ketentuan tindak pidana, yaitu:

  1. Kualifikasi Yuridis

Yaitu, “kualifikasi resmi/formal yang di tetapkan oleh pembuat Undang-undang dan mempunyai” konsekuensi/akibat yuridis” tertentu. Kualifikasi yuridis ini oleh J.A.W. Lensing disebutnya dengan istilah “classified by statute”.[12]

Menurut hukum pidana positif yang saat ini berlaku( yang berinduk pada KUHP), kualifikasi yuridis terdiri dari “ kejahatan” dan “pelanggaran” seperti dalam KUHP (WvS) Belanda.[13] Di dalam aturan umum Buku I KUHP ada perbedaan akibat/konsekuensi hukumnya antara kejahatan dan pelanggaran, antara lain dalam “pembantuan, perbarengan/concursus, tengang waktu”daluwarsa” (daluwarsa penuntutan maupun pelaksanaan/eksekusi pidananya.[14]

  1. Kualifikasi Non Yuridis

Yaitu kualifikasi (nama, sebutan, jenis delik) menurut teori ini atau pendapat para sarjana atau menurut istilah umum. Kualifikasi non yuridis atau kualifikasi ilmiah ini oleh J.A.W. Lesing disebutnya dengan Istilah “classified by doctrine”  sebutan non yuridis ini cukup banyak, antara lain:[15]

  • Dari sudut perbuatan: 1) delik commisionis; 2) delik commissa (atau disebut juga “delik omisi tidak murni”-oneigenlijke omissie-delicten atau “delicta commissiva peromissionem”)
  • Dari sudut unsur objektif (sikap batin): 1) delik dolus; 2) delik culpa; 3) delik pro-parte dolus, pro-parte culpa.
  • Dari sudut titik berat formulasi: 1) delik formal; 2) delik materiil
  • Dari sudut proses penuntutan : 1) delik biasa; 2) delik aduan (absolut atau relatif)
  • Dari aspek atau sudut pandang tertentu, ada sebutan/kualifikasi: delik politik, delik ekonomi, delik kesusilaan/pornografi, delik agama, delik administrasi, kejahatan biasa (ordinary crime) dan luar biasa (extra ordinary crime), white collar crime, top hat crime, cyber crime, hitech crime, dsb.

Adapun dalam ketentuan KUHP Indonesia menerangkan tentang Kepemilikan Senjata Api Pasal 500 KUHP sebagai berikut:

“Barang siapa tanpa izin kepada polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membikin obat peledak, mata peluru atau peluru untuk senjata api, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah”

Pada ketentuan KUHP tersebut tidak menerangkan di dalamnya kualifikasi yuridis kejahatan dan pelanggaran, karena kualifikasi yuridis antara kejahatan dan pelanggaran memiliki akibat yuridis yang berbeda pula, antara kejahatan dan pelanggaran dalam hal percobaan, pembantuan, penyertaan dan residive. Percobaan menurut pasal 54 terhadap pelanggaran tidak dapat di pidana, sedangkan pada pasal 53 ayat 3 percobaan terhadap kejahatan di pidana

  • Pertanggungjawaban Pidana

Syarat untuk dapat dipidana suatu perbuatan tidak hanya berdasarkan tindak pidana saja, namun seperti apa yang telah di jelaskan di atas ada unsur kedua, yaitu adanya pertanggungjawaban pidana, di mana di dalam pertanggungjawaban pidana, syarat untuk dapat di pidana seseorang itu harus memiliki kesalahan. Kesalahan di bagi 2 (dua),yaitu:

  1. Kesengajaan yang terdiri dari kesengajaan dengan maksud, kesengajaan dengan kepastian, kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
  2. Kealpaan
  • Kealpaan yang di sadari
  • Kealpaan yang tidak di sadari

Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya bersifat individual dan dalam hal pemidanaan terikat pada asas kesalahan atau asas culpabilitas atau asas Green Straf Zonder Schuld atau Keine Strafe Ohne Schuld atau No punishment without fault. Perancang W.v.S  di pengaruhi oleh asas Universitas Delinquere Non Potest, yang artinya badan-badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Menurut KUHP di Indonesia, hanya mengenal orang perseorangan sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi bukan merupakan subyek hukum pidana. Hal ini dapat di lihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP.

Pasal 59 KUHP yang berbunyi:

“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”

Ini berarti perancang KUHP (W.v.S) bersepakat bahwa badan-badan hukum tidak dapat bisa melakukan tindak pidana dan yang bisa melakukan tindak pidana hanyalah manusia alamiah (natuurlijke persoon), sedangkan manusia hukum (rechts persoon) tidak dapat melakukan tindak pidana, namun dalam perkembangannya ternyata manusia alamiah bergabung satu sama lain membentuk suatu bidang usaha dalam bentuk suatu organisasi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kemajuan di bidang ekonomi sehingga muncul pelaku-pelaku usaha yang tidak hanya  bersifat perorangan tetapi sudah dalam bentuk kerjasama berupa perkumpulan orang atau harta kekayaan dalam bentuk korporasi. Korporasi ini dalam melakukan kegiatannya sudah barang tentu berorientasi pada keuntungan. Oleh karena itu kemungkinan melakukan juga perbuatan yang dapat merugikan orang lain dalam mencapai tujuannya.[16]

Di Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana, saat ini pengaturannya hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP  ataupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Akan tetapi, masih ada terlihat ketidaktuntatasan pembentuk undang-undang (kebijakan formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana. Adapun ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan suatu korporasi dianggap harus bertanggungjawab, ataupun bagaimana cara pertanggungjawabannya.

Konsekuensi yuridis dengan tidak diaturnya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam Buku I KUHP (sebagai ketentuan umum hukum pidana), yaitu pengaturannya dalam ketentuan undang-undang di luar KUHP menjadi sangat beraneka ragam. Misalnya, Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata lain, hanya meminta pertanggungjawaban pidana kepada pengurusnya saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi:

  • Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.

KUHP merupakan sistem induk hukum pidana materiil yang tidak mengakui/tidak mengenal dapat di pertanggungjawabkannya korporasi secara pidana akan menimbulkan masalah yuridis sebagaimana di ketahui Undang-undang khusus yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP yang merupakan sub sistem pidana materiil dalam perkembangannya mengakui bahwa korporasi sebagai subjek hukum dan dapat di pertanggungjawabkan secara pidana, namun sangat di sayangkan Undang-undang khusus yang memuat ketentuan pidana tersebut banyak yang tidak mencantumkan pedoman dan pemidanaan terhadap korporasi antara lain mencakup:[17]

  1. Penegasan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana
  2. Penentuan sanksi pidana/tindakan untuk korporasi
  3. Penentuan siapa yang dapat di pertanggungjawabkan
  4. Penentuan kapan korporasi dapat di pertanggungjawabkan
  5. Penentuan kapan pengurus dapat di pertanggungjawabkan
  6. Penentuan alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi
  7. Penentuan aturan/pedoman pemidanaan bagi korporasi

 

Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan yuridis karena KUHP yang merupakan sistem induk hukum pidana materiil sebagaimana yang di jelaskan di atas tidak mengenal pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Undang-undang Darurat No.12 tahun 1951 tentang senjata api, juga tidak mengatur tentang pertanggungjawaban bagi korporasi.

  • Pidana dan Pemidanaan

Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

  1. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : [18]

1) Pidana Pokok.

Pidana pokok terdiri atas empat macam pidana, pidana tersebut terdiri dari :

a) Pidana Mati

Pidana mati hanya dijatuhkan untuk tindak pidana yang sangat berat. Salah satu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati adalah tindak pidana pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.

b) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana terhadap perampasan kemerdekaan. Lamanya pidana penjara dapat seumur hidup atau untuk sementara waktu diberikan batasan jangka waktu yang jelas, yaitu minimal satu hari dan maksimal lima belas tahun. Pembatasan pidana penjara maksimal dua puluh tahun adalah mutlak, hal ini disebutkan dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP.

c) Pidana Kurungan

Pidana kurungan adalah bentuk pidana badan yang kedua, yang lebih ringan daripada pidana penjara. Pidana kurungan berlaku untuk pidana kejahatan yang dilakukan dengan ketidaksengajaan (culpa) dan untuk hukuman terbarat dari tindak pidana pelanggaran. Pidana kurungan juga dapat merupakan pengganti dari pidana denda yang tidak dibayar. Batas waktu pidana kurungan pengganti pidana denda adalah minimal satu hari dan maksimal delapan bulan.

d) Pidana Denda

Pidana denda adalah pidana yang mewajibkan kepada terpidana untuk membayar sejumlah uang yang telahditetapkan dalam putusan pengadilan kepada negara. Apabila terpidana tidak dapat memenuhinya, maka terpidana dapat menggantinya dengan menjalani pidana kurungan pengganti denda.

e) Pidana Tutupan

Pidana tutupan adalah pidana yang diancamkan kepada pelaku tindak pidana di bidang politik.

2) Pidana Tambahan

Disamping pidana pokok, ketentuan hukum pidana Indonesia juga mengenal adanya pidana tambahan. Pidana tambahan terdiri dari:

a) Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan tersebut dapat dilakukan terhadap hak-hak tertentu, yaitu:

  1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
  2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
  3. Hak memilih atau dipilih dalam pemilihan yang berdasarkan aturan umum;
  4. Hak menjadi penasehat menurut hukum, hak menjadi wali dan sebagainya terhadap anak yang bukan anaknya;
  5. Hak menjalankan kekuasaan bapak atau pengampuan atas anak sendiri;
  6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.

b) Perampasan beberapa barang tertentu

Perampasan merupakan pidana tambahan yang sering dilakukan. Barang yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan. Perampasan ini juga berlaku terhadap barang milik terpidana yang telah disita sebelumnya.

c) Pengumuman putusan hakim

Pada hakekatnya semua putusan hakim telah diucapkan di depan umum, akan tetapi bila dianggap perlu maka putuan itu dapat disiarkan lagi dengan jelas dengan cara-cara yang ditentukan oleh hakim. Jadi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.

  1. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana, sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.

Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya.

KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari.(Pasal 12 ayat (2))

Dalam undang-undang juga diatur mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi seperiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP.

Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”, sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”.

Di samping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan-keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.[19]

  1. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)

KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum pidananya saja. Sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana.

Strafmodus dalam KUHP bila diperhatikan dengan seksama, maka ada empat bentuk pengenaan pidana (strafmodusnya), yaitu :

  • Bentuk pengenaan pidana tunggal;
  • Bentuk pengenaan pidana alternatif;(atau)
  • Bentuk pengenaan pidana kumulasi/komulatif;(dan)
  • bentuk pengenaan pidana kombinasi/gabungan.(dan/atau)

 

Kebijakan formulasi/ kebijakan legislative dapat diartikan sebagai kebijakan merumuskan Hukum positif agar lebih baik dan juga untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan demikian sering disebut dengan “penal policy” yang merupakan bagian dari “Modern Criminal Science” di samping “Criminology” dan “Criminal law“.[20]

Pembaharuan dalam bidang substantive hukum ini diartikan sebagai upaya melakukan reformasi dan reevaluasi masalah pokok dalam Hukum pidana yaitu masalah menentukan dan menetapkan perbuatan yang dilarang/ tindak pidana masalah pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan masalah pidana dan pemidanaan.

Masalah pertama dan kedua (Tindak pidana dan Kesalahan) dalam berbagai kesempatan telah banyak menjadi topik pembahasan namun terhadap masalah ketiga yaitu pidana dan pemidanaan seolah menjadi anak tiri dalam pembicaraan hukum pidana, padahal pemidanaan ini memegang peranan penting dalam mencapai tujuan (Goal) dari hukum pidana.

Sistem Pemidanaan pada hakikatnya merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Patut dicatat bahwa pengertian “pidana” tidak hanya dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ materiil. Dalam arti sempit/ formal, sistem pemidanaan berarti kewenangan menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana menurut Undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim), dalam arti luas/ material, sistem pemidanaan merupakan suatu mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana.

Dari pengertian sistem pemidanaan di atas dapat dikatakan bahwa keseluruhan aturan perundang-undangan yang ada dalam KUHP dan yang di luar KUHP yang bersifat khusus semuanya merupakan sistem pemidanaan. Sistem Pemidanaan yang dituangkan perumusannya di dalam Undang-undang pada hakikatnya merupakan suatu sistem kewenangan menjatuhkan pidana[21]

Pemidanaan ada 2 (dua) yaitu pedoman pemidanaan dan aturan pemidanaan. Perbedaan pedoman pemidanaan dan aturan pemidanaan yaitu pedoman pemidanaan tidak ada dalam KUHP sedangkan aturan pemidanaan ada dalam KUHP pasal 53 percobaan terhadap kejahatan dikurangi 1/3 (sepertiga), walaupun kontruksi konsepsional yang umum itu tidak ada di dalam KUHP, tetapi semua itu ada di dalam pelajaran/ilmu hukum. Namun, karena tidak tercantum secara tegas/eksplisit di dalam KUHP, sering kontruksi konsepsional yang umum itu di lupakan, bahkan “di haramkan” dalam praktek atau putusan pengadilan.

Adapun halnya dengan masalah tujuan dan pedoman pemidanaan yang kemungkinan bisa dilupakan, di abaikan, atau di haramkan  hanya karena tidak perumusannya secara eksplisit di dalam KUHP. Padahal di lihat dari sudut sistem, posisi ”tujuan” sangat sentral dan fundamental. Tujuan inilah yang merupakan jiwa/roh/spirit dari sistem pemidanaan.[22]

Hal ini dipertegas oleh Sudarto yang menyatakan : KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad) yang umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels).[23]

Dari pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa pedoman pemidanaan merupakan kebijakan legislatif yang “seharusnya” ada dalam aturan/ norma hukum pidana materiil yang harus diperhatikan dalam pemberian pidana. Tujuan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “arah, haluan (jurusan), maksud, tuntutan (yang dituntut)” [24]

Tujuan pemidanaan berarti arah yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan pidana atau dapat diartikan juga maksud yang hendak didapatkan dari pemberian pidana/pemidanaan. Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum pidana secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan Social welfare)

Menetapkan tujuan dan pedoman pemberian pidana harus dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana sehingga keputusan hakim tersebut dapat terbaca oleh orang lain(masyarakat) dan khususnya oleh orang yang berkepentingan dalam perkara itu. Alasan lain ditetapkan tujuan dan pedoman pemberian pidana adalah dikarenakan pidana itu mengandung pembalasan seperti dikemukakan oleh Leo Polak dalam bukunya “De Zin der Vergelding” (makna dari pembalasan) ; Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang paling menyedihkan. Sebab seseorang tidak mengetahui baik dasarnya maupun batasnya- baik tujuannya maupun ukurannya.[25]

Hukum pidana tidak terlepas dari adanya sanksi yang berupa pidana, dalam pelajaran ilmu hukum pidana masalah pidana dan pemidanaan kurang mendapatkan perhatian seperti halnya perhatian terhadap dua masalah pokok lainnya dalam hukum pidana yaitu perbuatan/tindakan dan pertanggungjawaban/ kesalahan. Pembahasan tentang stesel pidana tidak akan habis habisnya mengingat bahwa justru stesel pidana bagian yang terpenting dari suatu kitab undang-undang hukum pidana.[26]

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang darurat  No. 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata lain, maka aturan pemidanaan (pidana mati, pidana penjara, denda serta kurungan), berlaku sama dengan aturan pemidanaan dalam KUHP, kecuali apabila ditentukan tersendiri dalam Undang-undang darurat  No. 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata lain, maka aturan pemidanaan diberlakukan khusus (lex specialis derogat legi generalis).

Adapun perumusan sanksi pidana dalam Undang-undang darurat  No. 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata lain tersebar dalam beberapa pasal diantaranya :

Pasal 1 ayat (1)

Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

  • Tindak pidana :
  • Kualifikasi yuridis antara kejahatan dan pelanggaran

Kualifikasi yuridis ini sangat penting apabila dalam undang-undang khusus tersebut tidak mencantumkan suatu delik apakah sebagai pelanggaran atau kejahatan yang mana akan menimbulkan permasalahan yuridis dalam hal penerapan undang-undang tersebut dalam prakteknya dan juga dalam hal apabila terjadi percobaan, pembantuan, perbarengan tindak pidana, dll, sehingga secara yuridis dapat menimbulkan masalah untuk memberlakukan aturan umum KUHP yang tidak secara khusus diatur dalam UU khusus di luar KUHP itu;

  • Pemufakatan jahat (percobaan) dan pengulangan (recidive)

Undang-undang khusus ini di dalam nya tidak memuat ketentuan pidana tentang melakukan tindak pidana dengan pemufakatan jahat atau apabila terjadi pengulangan tindak pidana (recidive), sehingga menimbulkan masalah sendiri karena aturan pemidanaan dalam KUHP tidak hanya di tujukan pada subjek yang melakukan tindak pidana melainkan kepada mereka yang melakukan pemufakatan jahat dan pengulangan (recidive)

  • Pertanggungjawaban Pidana/Kesalahan :

Ketentuan pidana dalam Undang-undang Darurat ini sama sekali tidak mengatur tentang pidana dan pemidanaan bagi korporasi. Apabila di dalam tidak mengatur akan menimbulkan permasalahan yuridis jika tindak pidana kepemilikan senjata api ilegal yang di atur dalam Undang-undang darurat ini di lakukan secara korporasi.

Pengaturan kejahatan korporasi harus mencakupi korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, penentuan sanksi pidana/tindakan untuk korporasi, penentuan siapa yang dapat di pertanggungjawabkan, penentuan kapan korporasi dapat di pertanggungjawabkan, penentuan kapan pengurus dapat di pertanggungjawabkan, penentuan alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi serta penentuan aturan/pedoman pemidanaan bagi korporasi

  • Pidana dan Pemidanaan :

1) Jenis sanksi pidana (Strafsoort):

Meliputi pidana pokok, yaitu: Hukuman mati atau Pidana Penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara.

2) Lama atau besarnya sanksi pidana (Straftmaat) :

Diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

3) Cara merumuskan sanksi pidana

Bersifat alternatif dengan penyebutan kata “atau” dalam perumusan sanksi pidana dalam pasal tersebut, sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satu sanksi pidana yaitu hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Pencantuman ancaman pidana maksimum khusus harus di ikuti pula dengan pedoman penerapan pidana maksimum khusus apabila tidak menyertakan pedoman penerapannya akan menimbulkan permasalahan yuridis pula.

 

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Untuk menentukan kebijakan formulasi yang akan datang maka penulis menggunakan kajian perbandingan diantaranya KUHP dan Konsep KUHP 2012

  • Konsep Rancangan KUHP 2012 tentang kepemilikan senjata api, Amunisi, Bahan Peledak, dan Senjata Lain

Pasal 294

Setiap orang yang tanpa hak memasukkan ke wilayah negara Republik Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan, memiliki, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari wilayah negara Republik Indone­sia  senjata api, amunisi, bahan peledak, atau bahan-bahan lainnya yang berbahaya, gas air mata, atau peluru karet, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.[27]

  • Tindak pidana :
  1. Kualifikasi yuridis antara kejahatan dan pelanggaran

Pada Konsep KUHP 2012 tersebut tidak mencantumkan suatu delik apakah sebagai pelanggaran atau kejahatan yang mana akan menimbulkan permasalahan yuridis dalam hal penerapan undang-undang tersebut dalam prakteknya dan juga dalam hal apabila terjadi percobaan, pembantuan, perbarengan tindak pidana, dll. Dalam bab ketentuan Pidana harus ada ketentuan/penegasan tentang kualifikasi yuridis dari tindakan pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran

  1. Permufakatan jahat (samenspanning, conspiracy) dan pengulangan (recidive)

Tindak Pidana Permufakatan Jahat dalam KUHP diatur dalam Pasal 110  ayat (1) sampai dengan ayat (4). Permufakatan jahat (samenspanning) diatur secara khusus yaitu hanya terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP. Artinya tindak pidana Permufakatan Jahat tidak dapat diberlakukan untuk semua tindak pidana yang ada dalam KUHP, jadi bersifat eksepsional (pengeculian) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 110  KUHP tersebut. Pengertian Permufakatan jahat dalam KUHP dapat dilihat dalam Pasal 88 KUHP yang merupakan penafsiran otentik mengenai permufakatan jahat tersebut. Pasal 88 tersebut menyebutkan pengertian permufakatan jahat sebagai berikut ”Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”

Meskipun tindak pidana belum terlaksana tidak berarti permufakatan jahat sama dengan tindak pidana percobaan (poging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi 3 unsur yaitu niat, permulaan pelaksaan dan perbuatan tersebut tidak jadi selesai diluar kehendak pelaku. Apabila melihat rumusan tindak pidana permufakatan jahat, maka niat dalam permufakatan jahat telah dapat dihukum. Karena perbuatan persiapan (voorbereiding) dalam permufakatan jahat sendiri belum ada

Pada Konsep KUHP Undang-undang khusus ini di dalam nya tidak memuat ketentuan pidana tentang melakukan tindak pidana dengan pemufakatan jahat atau apabila terjadi pengulangan tindak pidana (recidive), sehingga menimbulkan masalah sendiri karena aturan pemidanaan dalam KUHP tidak hanya di tujukan pada subjek yang melakukan tindak pidana melainkan kepada mereka yang melakukan pemufakatan jahat dan pengulangan (recidive)

  • Pertanggungjawaban Pidana/Kesalahan :

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana

Ketentuan pidana dalam konsep KUHP 2012 ini sama sekali tidak mengatur tentang pidana dan pemidanaan bagi korporasi. Apabila di dalam tidak mengatur akan menimbulkan permasalahan yuridis jika tindak pidana kepemilikan senjata api ilegal yang di atur dalam ini di lakukan secara korporasi. Pengaturan kejahatan korporasi harus mencakupi korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, penentuan sanksi pidana/tindakan untuk korporasi, penentuan siapa yang dapat di pertanggungjawabkan, penentuan kapan korporasi dapat di pertanggungjawabkan, penentuan kapan pengurus dapat di pertanggungjawabkan, penentuan alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi serta penentuan aturan/pedoman pemidanaan bagi korporasi

  • Pidana dan Pemidanaan :

1) Jenis sanksi pidana (Strafsoort):

Meliputi pidana pokok, yaitu: Hukuman mati atau Pidana Penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara.

2) Lama atau besarnya sanksi pidana (Straftmaat) :

Diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

3) Cara merumuskan sanksi pidana

Bersifat komulatif dengan penyebutan kata “dan” dalam perumusan sanksi pidana dalam pasal tersebut, sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satu sanksi pidana yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. pencantuman ancaman pidana minimum khusus harus di ikuti pula dengan pedoman penerapan pidana minimum khusus apabila tidak menyertakan pedoman penerapannya akan menimbulkan permasalahan yuridis pula.

Analisis Konsep KUHP yang akan datang menurut penulis:

Bahwasanya untuk membuat konsep KHUP yang akan datang Kepemilikan senjata api harus di dalam nya Kualifikasi yuridis antara kejahatan dan pelanggaran yang jelas sehingga tidak menimbulkan permasalahan yuridis dalam penerapannya dan harus adanya Permufakatan jahat (samenspanning, conspiracy) dan pengulangan (recidive) serta unsur-unsur yang termasuk kedalam pertanggungjawaban korporasi dikarenakan apabila tidak adanya kejelasan akan menimbulkan permasalahan yang konflik mengingat Undang-undang Darurat yang berlaku sekarang menurut penulis sudah tidak layak lagi dalam penerapannya di karenakan di dalam nya hanya menerangkan secara universal saja.

 

Kesimpulan

Secara keseluruhan, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian  di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, kebijakan formulasi hukum pidana khususnya mengenai Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal saat ini, memiliki sejumlah kelemahan yang mendasar, sehingga berpengaruh pada tingkat efektivitas terhadap pelaksanaan pemberantasan tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal, karena kelemahan dalam tahap formulasi (in abstracto) merupakan kelemahan strategis bagi tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan eksekusi (in concret). Kelemahan-kelemahan formulasi tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal saat ini ialah sebagi berikut:

  1. Kebijakan hukum pidana dalam hal tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal yang berlaku saat ini, tindak mencantumkan kualifikasi delik apakah sebagai “pelanggaran” atau “kejahatan”. Di samping itu juga tidak memberikan pengertian atau batasan-batasan yuridis mengenai “permufakatan jahat”, dan “pengulangan tindak pidana (recidive)”.
  2. Dengan pertimbangan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat, perekonomian, pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dan landasan yang solid dalam hukum untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Selain itu, diperlukan perhatian studi yang lebih mendalam, baik di kalangan akademis, profesional maupun aparat penegak hukum, guna membangun suatu kerangka teoritis bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum

Kedua, memperhatikan kelemahan-kelemahan tersebut, sebaiknya dilakukan pembaharuan terhadap kebijakan hukum pidana mengenai tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal untuk yang akan datang, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Rumusan tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal tetap menekankan pada unsur memberikan pengertian yuridis mengenai “Permufakatan jahat”, serta “pengulangan tindak pidana” (recidive)” yang berpijak kepada KUHP sebagai sumber sistem induk hukum.
  2. Rumusan tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal harus adanya sinkronisasi antara tindak pidana pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidaan yang lebih jelas dan konkrit dengan memperhatikan kajian perbandingan negara asing (Inggris, India dan Thailand) serta konsep Rancangan KUHP 2012 sebagai titik tolak ukur.

Saran

Berdasarkan pada kesimpulan sebagaimana diuraikan di atas, penulis merekomendasikan hal- hal sebagai berikut:

  1. Kebijakan hukum pidana dalam hal pemberantasan tindak pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal yang akan datang, perlu mencantumkan kualifikasi delik, serta memberikan pengertian atau batasan-batasan yuridis mengenai “permufakatan jahat”, dan “pengulangan tindak pidana (recidive)”.
  2. Sistem ancaman maksimum khususnya harus memuat juga pengaturan tentang pedoman pemidanaan bagi sistem ancaman maksimum khusus
  3. Mencantumkan pemberatan pidana dalam berupa denda dan sanksi yang berat

 

 

Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.

————–, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta : Genta Publishing.

————–,1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

————–, 2011, Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan, Semarang : Pustaka Magister.

————–, 2012, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan, Semarang : Pustaka Magister

————–, 2011, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Abdul Sani,dkk, 2007, Buku Pintar Kepabeanan, Jakarta : PT.Gramedia  Pustaka Utama.

Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004

A.Z.Abidin Farid, A.Hamzah,  2008, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Arief, Barda Nawawi dan Muladi, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

—————,1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni.

Black, Henry Campbell,  1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota.

Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pidana Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta : Prena Media

Effendi, Erdianto, 2011, Hukum Pidana Indonesia (Suatu Pengantar), Bandung : Refika Aditama.

Lesing, J.A.W, 1997, The Netherland, dalam Internasional Encyclopedia of Laws, Volume 3 Criminal Law, Kluwer.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal  Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991, Edisi Kedua.

KUHP dan KUHAP, 2006, Bandung : Citra Umbara.

Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Bandung : Refika Aditama.

Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2012, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang : Universitas Dipenogoro.

Atmasasmita, Romli, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung : CV. Mandar Maju.

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni.

————–,1986, Hukum Pidana I, Semarang : Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum UNDIP.

—————,1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni.

—————, 1979, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Semarang : Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip.

Tongat, 2008, Hukum Pidana Materiil (Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan), Jakarta : Sinar Grafika.

Wirjono Prodjodikoro, 1974, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Jakarta : PT Eresco.

Perundang-undangan

Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang- Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948.

Internet

http://bagashera.wordpress.com / 2012 / 06 /27 / buku-kedua-rancangan-kuhp-2012/

http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2006/38/contents

http://www.abhijeetsingh.com/arms/india/laws/act/

http://www.thailawforum.com/database1/Thailand-Gun-Law-Act-6.html

[1]Barda Nawawi Arief, , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 30.

[2]Barda Nawawi Arief dalam Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 213.

[3] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 17.

[4] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,… hlm. 31.

[5]Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung, PT. Refika Aditama, 2004),  hlm. 53.

[6]Sudarto, Hukum Pidana I, (Yayasan Sudarto, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, 1986), hlm.33

[7]Sudarto, Ibid, hal 33.

[8]Van Bemmelen dalam Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Jakarta, PT Eresco, 1974), hlm. 4.

[9] Anonimous, KUHP dan KUHAP, (Bandung, Citra Umbara, 2006), hlm. 35-154.

[10] Sudarto, Hukum Pidana I, , hlm.31-32.

[11]Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan, (Semarang, Pustaka Magister, 2012), hlm.18.

[12]J.A.W  Lesing, The Netherland, dalam Internasional Encyclopedia of Laws, Volume 3 Criminal Law, Kluwer, 1997, hlm.96 (194-195).

[13]Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal  Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.66.

[14] Lesing, J.A.W, The Netherland, dalam Internasional Encyclopedia of Laws, hlm. 98

[15]Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan, (Semarang, Pustaka Magister, 2012), hlm.19

[16]Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, (Semarang, Universitas Dipenogoro, 2012), hlm. 29-30.

[17]Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan,  (Semarang, Pustaka Magister, 2012), hlm.121.

[18]A.Z.Abidin Farid, A.Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,  2008), hlm. 281.

[19] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, . hlm. 14.

[20]Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan, hlm. 23.

[21]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 114.

[22]Barda Nawawi Arief, Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan, (Semarang, Pustaka Magister, 2011), hlm. 6-7.

[23]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung, Alumni, 1986), hlm. 79.

[24]Anonimous, Kamus Dasar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Edisi kedua, 1999), hlm. 1077.

[25]Leo Polak dalam Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung, Alumni, 1986), hlm. 79.

[26]Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, 1979),hlm. 5.

[27]http://bagashera.wordpress.com / 2012 / 06 /27 / buku-kedua-rancangan-kuhp-2012/

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*